• Jelajahi

    Copyright © alnewsbanten
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Put your ad code here

    Menu Bawah

    Mafia Proyek di RSUD Labuan Terungkap, Warga Geruduk Rumah Sakit Tuntut Transparansi Pengelolaan

    , Februari 11, 2025 WIB Last Updated 2025-02-11T17:03:20Z
    ccc


     

    Pandeglang – Ketegangan yang melanda Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuan semakin memuncak pada Senin pagi, ketika puluhan warga yang tergabung dalam Kelompok Kerja (POKJA) RSUD Labuan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran. Warga menuntut transparansi dalam pengelolaan proyek rumah sakit yang tengah dibangun, yang diduga penuh dengan penyimpangan dan mafia proyek. Isu pungutan liar, ketidakpatuhan terhadap peraturan, serta pengabaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) menjadi sorotan utama dalam aksi tersebut.


    Proyek pembangunan RSUD Labuan, yang seharusnya menjadi solusi untuk peningkatan layanan kesehatan di wilayah tersebut, justru diliputi kontroversi yang meresahkan masyarakat. Proyek yang dibangun di tengah pemukiman padat penduduk ini mendapat sorotan tajam setelah POKJA menemukan sejumlah kejanggalan yang memunculkan dugaan mafia proyek dan pelanggaran hukum. Salah satu isu besar yang mencuat adalah dugaan pengabaian terhadap AMDAL, meskipun lokasi rumah sakit ini berada di tengah permukiman padat. Selain itu, kurangnya transparansi dalam proses rekrutmen tenaga kesehatan (nakes), yang dicurigai melibatkan pungutan liar, menjadi masalah besar lainnya.


    Tuntutan Transparansi dan Tindakan Tegas


    Koordinator aksi, Tb. Muhidin, dalam orasinya menegaskan pentingnya transparansi dalam setiap tahap pengelolaan proyek rumah sakit ini. “Jika RSUD Labuan berstatus tipe C, seharusnya izin AMDAL yang diajukan, bukan hanya UKL-UPL yang dianggap tidak memadai. Kami menuntut transparansi penuh, terutama terkait dengan pengelolaan dan siapa saja yang terlibat dalam rekrutmen tenaga kerja,” ujar Muhidin dengan tegas.


    Warga yang hadir dalam aksi tersebut semakin menguatkan keresahan mereka terkait dugaan mafia proyek yang dapat merugikan masyarakat. Mereka juga menuntut kehadiran Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Banten untuk memberikan penjelasan terkait masalah ini. Massa mengancam untuk melanjutkan aksi dengan massa lebih besar jika Kadinkes tidak hadir dalam waktu 3x24 jam. "Jika dalam tenggat waktu tersebut Kadinkes tidak datang, kami akan melanjutkan aksi dengan massa yang lebih besar," tegas Muhidin.


    Respon RSUD Labuan: Terbuka untuk Dialog


    Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Tb. Lili Nazaruddin, menanggapi tuntutan tersebut dengan menyatakan kesediaannya untuk berdialog. "Kami selalu terbuka untuk berdiskusi dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berbicara. Kami ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik," kata Lili.


    Namun, meskipun penjelasan telah diberikan mengenai izin lingkungan yang menyatakan bahwa RSUD Labuan hanya membutuhkan UKL-UPL karena luas lahan rumah sakit kurang dari 10.000 meter persegi, hal ini tidak cukup meredakan kekecewaan warga. Masyarakat menganggap penjelasan tersebut tidak memadai dan tidak mampu menjawab keresahan yang telah lama terbakar.


    Tantangan Transparansi dalam Birokrasi


    Masalah yang terjadi di RSUD Labuan tidak hanya mencerminkan adanya kesalahan dalam pengelolaan proyek, tetapi juga menunjukkan kelemahan dalam sistem birokrasi yang ada. Eko Supriatno, seorang pengamat kebijakan publik dan dosen Universitas Mathla'ul Anwar (UNMA) Banten, menilai ketidakmampuan sistem birokrasi dalam menjalankan fungsi pengawasan secara efektif telah membuka celah bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Proyek pembangunan rumah sakit yang mestinya meningkatkan kualitas layanan kesehatan masyarakat, justru memperlihatkan bagaimana kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan publik,” ujarnya.


    Eko mengkritisi sistem birokrasi yang dinilai memberikan ruang terlalu besar bagi oknum-oknum untuk memanipulasi anggaran, melakukan rekrutmen tenaga kerja yang tidak transparan, serta menciptakan praktik pungutan liar yang merugikan masyarakat. “Masyarakat sudah lelah dengan janji-janji kosong dari pemerintah. Mereka menuntut bukti nyata dan tindakan tegas,” lanjut Eko.


    Lebih lanjut, Eko menyampaikan kritik terhadap kurangnya transparansi dalam proses AMDAL. Menurutnya, proses AMDAL seharusnya melibatkan masyarakat secara langsung untuk memberi masukan yang berarti, bukan sekadar menjadi formalitas administratif. “Proses seperti ini harus melibatkan masyarakat dari awal hingga akhir. Jangan hanya terkesan sebagai formalitas,” kata Eko.


    Urgensi Pembentukan Perda Pengelolaan Limbah Medis


    Selain isu transparansi pengelolaan proyek rumah sakit, Eko juga menyoroti pentingnya pembentukan Peraturan Daerah (Perda) terkait pengelolaan limbah medis di rumah sakit. “Pengelolaan limbah medis harus diawasi secara ketat. Tanpa regulasi yang jelas, dampak negatifnya akan sangat besar bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat,” ujarnya. Menurut Eko, pengesahan Perda tentang pengelolaan limbah medis akan memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengelolaan limbah rumah sakit yang ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat.


    Ia mengusulkan agar proyek-proyek pembangunan publik seperti RSUD Labuan dilaksanakan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan. “Pembangunan RSUD Labuan adalah proyek penting bagi masyarakat. Namun, itu harus dilakukan dengan cara yang tidak hanya mengutamakan akses layanan kesehatan, tetapi juga menjaga lingkungan dan sosial masyarakat sekitar,” tambahnya.



    Eko menekankan bahwa untuk mencapai tujuan keberlanjutan dalam proyek pembangunan rumah sakit, perlu ada kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya. Setiap proyek publik, terutama yang berkaitan dengan sektor kesehatan, harus dilaksanakan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. “Masyarakat harus diberdayakan untuk terlibat dalam setiap tahap pembangunan agar proyek ini tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tetapi juga keberlanjutan jangka panjang,” pungkasnya.


    Tanggapan Kritis Terhadap Ketua DPRD Pandeglang dan Kepala Desa Labuan


    Aksi unjuk rasa yang terjadi di RSUD Labuan adalah manifestasi dari ketidakpuasan masyarakat yang selama ini merasa diabaikan. Ketua DPRD Pandeglang, H. Tb. A. Khatibul Umam, mengatakan bahwa pihak RSUD harus mendengar keluhan masyarakat. Namun ironisnya, pernyataan tersebut seperti "berkata tapi tidak melakukan." Selama ini, berapa kali masyarakat mengeluhkan buruknya pelayanan dan tidak ada aksi nyata dari pihak DPRD untuk turun langsung mendengarkan suara rakyat? Apakah Ketua DPRD baru terbangun setelah demo, ataukah hanya menunggu kerusuhan untuk datang berbicara?


    Begitu juga dengan Kepala Desa Labuan, Dedi Supriadi, yang mengaku terkejut dengan aksi unjuk rasa. Kenapa baru sekarang ia mengaku terkejut? Apakah tidak ada komunikasi yang cukup dengan masyarakat atau pihak RSUD sebelumnya? Masyarakat sudah lama menunggu RSUD Labuan beroperasi dengan baik, namun tidak ada langkah konkret untuk menanggapi harapan mereka selain kata-kata manis yang hanya akan mengalihkan perhatian dari masalah yang sesungguhnya. Apakah tindakan ini hanya sebatas untuk “menenangkan situasi”, atau mungkin memang tidak ada usaha serius dari pemerintah daerah untuk memenuhi janji pelayanan kesehatan yang layak?


    Masyarakat memang ingin mendengar kabar gembira, bahwa RSUD Labuan segera beroperasi dengan kapasitas terbaik, bukan hanya untuk "proyek" yang dianggap selesai tanpa mempertimbangkan kualitas pelayanan. Dengan anggaran yang ada, tidak bisa hanya berharap pada tampilan fisik rumah sakit yang megah. Seharusnya, anggota DPRD dan kepala desa lebih fokus untuk memastikan bahwa warga mendapatkan manfaat langsung, bukan hanya jargon kosong.


    Forum paguyuban RT/RW, meskipun menunjukkan dukungan, tetap harus sadar bahwa kata-kata dukungan tanpa aksi nyata akan menjadi hal yang sia-sia. Masyarakat membutuhkan RSUD yang dapat diakses dengan pelayanan kesehatan yang berkualitas, bukan sekadar pembukaan simbolis yang hanya mengundang tepuk tangan sementara masalah utama tetap terabaikan.


    Dari sini, pertanyaan penting yang harus kita jawab bersama: Sudah sejauh mana pihak berwenang, baik DPRD maupun Kepala Desa, benar-benar mendengarkan dan mewujudkan harapan masyarakat, atau apakah mereka hanya menunggu “kehebohan” lain untuk kembali berucap dan berpura-pura peduli? Dengan segala kontroversi yang melilit, nasib pembangunan RSUD Labuan kini berada di persimpangan. Apakah proyek ini akan memenuhi harapan masyarakat atau justru terjebak dalam praktik-praktik buruk yang merugikan, hanya waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti: tuntutan warga untuk transparansi dan akuntabilitas tidak dapat diabaikan begitu saja.*


    (Isum)

    Komentar

    Tampilkan