• Jelajahi

    Copyright © alnewsbanten
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Put your ad code here

    Menu Bawah

    Pramoedya dan Gebar: Kata, Warna, dan Nyala Perlawanan Satu Abad Pramoedya Ananta Toer

    , Februari 08, 2025 WIB Last Updated 2025-02-09T07:00:43Z
    ccc

     



    "Seni dan kata itu api yang tak pernah padam.

     Pramoedya dan Gebar ngajarin kita lawan ketidakadilan, berpikir jernih,

    dan terus berjuang demi kebenaran."

     

    — Bung Eko Supriatno



    Di tengah zaman yang dipenuhi algoritma, di mana narasi instan dan dangkal mendominasi, dua nama muncul bagai obor: Pramoedya Ananta Toer dan Gebar Sasmita. Dua sosok ini, meski berbeda medium—Pram dengan kata-katanya yang tajam, Gebar dengan warna-warnanya yang menyala—bersatu dalam satu semangat: melawan ketidakadilan, menegakkan kebenaran, dan membangkitkan kesadaran melalui seni.


    Pramoedya, sastrawan legendaris, menulis bukan hanya untuk menggugah, tapi untuk menggerakkan. Kutipannya, “Sudah bosan takut. Dan sudah bosan putus asa,” menjadi mantra bagi mereka yang melawan penindasan. Sementara itu, Gebar Sasmita, maestro seni rupa dari Banten, melukis bukan untuk keindahan semata, tapi untuk menyuarakan penderitaan rakyat. Lukisannya adalah teriakan yang tak pernah padam, goresan warna yang bercerita tentang perlawanan.


    Pada peringatan satu abad kelahiran Pramoedya, kita diajak bukan hanya mengenang karyanya, tapi juga merefleksikan semangatnya yang masih hidup dalam sosok seperti Gebar. Keduanya adalah pejuang seni yang menggunakan kata dan warna sebagai senjata, menyalakan api perlawanan di tengah dunia yang sering memilih diam.


    Kita perlu merangkai kembali jejak perlawanan mereka. Dengan pendekatan sastra, jurnalistik, filosofis, dan budaya, kita akan menelusuri bagaimana Pramoedya dan Gebar tidak hanya menciptakan karya, tapi juga mengubah cara kita memandang dunia. Mereka mengajarkan bahwa seni bukan sekadar ekspresi, tapi alat untuk membongkar ketidakadilan dan membangun kesadaran. (Tempo.co, nd).


    Di era kini, di mana informasi bergerak cepat tapi sering kehilangan makna, karya Pramoedya dan Gebar mengingatkan kita akan pentingnya keberanian berpikir, kejernihan bertutur, dan keteguhan melawan. Mereka adalah pengingat bahwa seni, dalam bentuk apa pun, punya kekuatan untuk mengubah dunia. Dan perubahan itu dimulai dari satu langkah kecil: berani bersuara.


    Mari menyelami lebih dalam kisah dua pejuang seni ini, merenungkan warisan mereka, dan mengambil api perlawanan yang mereka nyalakan. Sebab, seperti kata Pramoedya, “Kata-kata bisa mengubah dunia.” Dan seperti goresan Gebar, “Seni adalah jiwa yang jujur.”


    Pramoedya: Warisan Perlawanan Abadi


    Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar penulis. Ia adalah suara yang menantang kekuasaan dan membangkitkan kesadaran. Karyanya, seperti Bumi Manusia dan Tetralogi Pulau Buru, lebih dari sekadar fiksi—mereka adalah cermin sejarah, sebuah seruan untuk melihat ketidakadilan dalam masyarakat Indonesia. Pramoedya menulis bukan hanya untuk menghibur, tapi untuk menggugah pikiran dan menggerakkan aksi.


    Kutipannya, "Sudah bosan takut. Dan sudah bosan putus asa," adalah seruan untuk generasi yang tak pernah berhenti berjuang. Ia mengajarkan bahwa membaca dan menulis adalah bentuk perlawanan. Di dunia yang dibanjiri informasi palsu dan manipulasi, Pram mengingatkan kita untuk berpikir kritis dan menyadari pentingnya sejarah. (Kompas.com, 2019) 


    Pramoedya menulis dengan darah dan air mata. Setiap kata adalah hasil pergulatan dengan penindasan, ketidakadilan, dan penderitaan. Bumi Manusia, bukan hanya kisah cinta, tapi juga protes terhadap kolonialisme yang merendahkan manusia. (JEO Kompas.com, nd) . Tetralogi Pulau Buru adalah karya monumental yang lahir dari penjara, menggambarkan perjuangan melawan kekuasaan yang menindas dan membangun kesadaran bangsa.


    Karya-karya Pramoedya tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi memberikan pandangan tajam terhadap masa kini. Dalam Rumah Kaca, ia menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa memanipulasi kebenaran dan menciptakan realitas palsu. Pesan ini relevan hingga sekarang, di tengah gelombang hoaks dan manipulasi informasi.


    Pramoedya adalah pemikir visioner. Ia tahu bahwa sejarah bukan hanya milik penguasa, tapi juga rakyat. Lewat tulisannya, ia memberikan suara kepada mereka yang dibungkam. Ia menulis tentang pahlawan-pahlawan kecil—orang-orang biasa yang melawan ketidakadilan.


    Pemikiran Pramoedya tentang kebangsaan, kemanusiaan, dan keadilan sosial tetap relevan hingga kini. 


    Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang terbebas dari penjajah, tetapi juga dari penindasan dalam bentuk apapun. Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, ia bercerita tentang pengalamannya sebagai tahanan politik, yang sekaligus menjadi kritik terhadap rezim yang mengekang kebebasan.


    Di era digital, di mana informasi bergerak cepat tapi sering kehilangan substansi, karya-karya Pramoedya mengingatkan kita tentang pentingnya berpikir kritis dan berkomunikasi dengan jernih. Ia mengajarkan bahwa membaca dan menulis adalah alat untuk menggali ketidakadilan dan membangun kesadaran.


    Pramoedya juga mengingatkan kita bahwa seni dan sastra bukan hanya hiburan, tetapi juga perlawanan. Ia menulis dengan semangat yang menyala-nyala, mendorong pembaca untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku perubahan. Di tengah dunia yang semakin individualistis, pesan Pramoedya tentang solidaritas dan perjuangan kolektif semakin relevan.


    Pramoedya Ananta Toer telah tiada, tapi semangatnya hidup dalam setiap karya yang ditinggalkannya. Ia membuktikan bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Warisan Pramoedya adalah api yang terus menyala, menginspirasi kita untuk terus melawan ketidakadilan dan tidak takut bersuara.


    Seperti yang pernah ia katakan, "Kata-kata bisa mengubah dunia." Melalui kata-katanya, ia telah mengubah cara kita memandang sejarah, kebangsaan, dan kemanusiaan. Dan warisannya akan terus membara, menggerakkan generasi demi generasi untuk berjuang demi keadilan. (Perpustakaan Amir Machmud, nd) 


    Gebar Sasmita: Pelukis Perlawanan di Kanvas


    Gebar Sasmita bukan hanya seorang pelukis; ia adalah simbol perlawanan. Lahir di Pandeglang, Banten, pada 12 April 1958, Gebar menemukan seni sebagai alat untuk berbicara tentang ketidakadilan, penindasan, dan kemanusiaan. 


    Sebagai mantan tahanan politik termuda di Nusa Kambangan, ia mengubah penderitaannya menjadi karya yang berani dan penuh makna. Seni bagi Gebar bukan hanya ekspresi pribadi, tetapi perlawanan terhadap sistem yang menindas.


    Gebar percaya bahwa seni harus dekat dengan rakyat, bukan hanya dinikmati di galeri-galeri elit. "Kalaupun galeri tidak memberi tempat, kami akan menggunakan trotoar dan jalanan," kata Gebar, sebuah filosofi yang menegaskan bahwa seni adalah milik semua orang, bukan hanya mereka yang berada di ruang-ruang mewah. 


    Karya-karyanya berbicara langsung kepada rakyat, menggambarkan kehidupan mereka yang sering terlupakan dalam sejarah besar. (BantenNews.co.id, nd) 


    Lukisan-lukisan Gebar tidak hanya mengandalkan keindahan visual, tetapi juga membawa pesan sosial yang mendalam. Karya seperti “Perjalanan Panjang” menggambarkan perjuangan hidupnya, dengan warna-warna tegas yang memancarkan kekuatan dan harapan, meskipun banyak tantangan.  Setiap goresan kuasnya adalah bentuk perlawanan terhadap penindasan, sekaligus ajakan untuk berpikir kritis dan jernih melihat dunia.


    Gebar menggunakan seni untuk menciptakan narasi baru yang mengangkat suara rakyat. Lukisan-lukisannya adalah kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial, politik, dan budaya. Ia menyoroti kehidupan orang-orang kecil yang sering terpinggirkan, memberikan mereka tempat di kanvas yang sering kali didominasi oleh cerita-cerita besar dan kuat. Setiap karya Gebar adalah pengingat bahwa perlawanan tidak mengenal batasan—bahkan dalam keterbatasan, seni bisa menjadi kekuatan yang tak terhentikan.


    Seni bagi Gebar adalah ruang bebas untuk berbicara, tanpa terikat pada galeri atau pasar seni. Di atas kanvas, ia menulis sejarah yang terlupakan, mengungkapkan realitas yang tersembunyi. Lukisan-lukisannya bukan sekadar gambaran visual, tetapi cermin kehidupan yang harus diperhatikan. Ia mengajak kita untuk melihat dunia dengan mata yang lebih jujur, untuk merasakan kejujuran yang terkadang sulit ditemukan dalam dunia seni yang sering terjebak pada kemewahan.



    Gebar mengajarkan bahwa seni adalah kekuatan. Seni adalah alat untuk melawan ketidakadilan, untuk berbicara tentang dunia yang sering kali terabaikan. Sebagaimana Pramoedya mengubah dunia dengan kata-kata, Gebar mengubah dunia melalui warna dan garis. Lukisan-lukisannya membuktikan bahwa seni adalah senjata perlawanan yang ampuh, yang tidak hanya berbicara kepada mereka yang berada di ruang seni, tetapi juga kepada setiap orang yang membuka mata untuk melihat kenyataan.


    Melalui karya-karya Gebar, kita diajak untuk meresapi perjuangan, untuk merenung, dan untuk berani melawan. Karya-karyanya menggugah kesadaran kita bahwa seni bukan hanya untuk dihargai, tetapi juga untuk melawan ketidakadilan yang ada. Gebar Sasmita menggoreskan warisan yang lebih dari sekadar lukisan—ia meninggalkan api semangat perlawanan yang terus menyala, menginspirasi siapa saja yang berani melihat dunia dengan hati yang lebih peka dan jujur.


    Pram dan Gebar


    Pramoedya Ananta Toer dan Gebar Sasmita, meski bergerak di ranah yang berbeda—Pram melalui tulisan dan Gebar melalui lukisan—memiliki semangat yang sama: melawan ketidakadilan. (Kompas.id, 2019) 


    Keduanya sadar bahwa seni bukan hanya soal ekspresi atau estetika, tapi alat perlawanan yang kuat. Pramoedya menulis untuk membuka mata masyarakat terhadap penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan sosial. Gebar, lewat goresan kuasnya, menggambarkan hidup orang-orang yang terpinggirkan, merangkum penderitaan mereka yang terabaikan dalam masyarakat. Kedua sosok ini tak hanya menghadirkan karya, tetapi juga memicu perubahan melalui refleksi yang mendorong pembaca dan penikmat seni untuk bertindak.


    Pramoedya dengan tegas mengatakan, “Kata-kata bisa mengubah dunia,” dan ia membuktikannya dengan karya-karyanya yang mengguncang fondasi ketidakadilan. Sementara itu, Gebar berkeyakinan, “Seni harus mampu menjewer jiwa-jiwa yang terlelap,” dengan maksud bahwa seni memiliki kekuatan untuk membangunkan kesadaran orang-orang yang terbuai dalam kenyamanan mereka, orang-orang yang tak peduli dengan penderitaan di sekitarnya. Keduanya mengajarkan bahwa seni adalah bentuk perlawanan yang penuh keberanian, menyuarakan hal-hal yang biasanya tak terdengar, melawan sistem yang menindas dengan cara yang jujur dan kuat. (Harita.id, nd) 


    Relevansi Pram dan Gebar di Era Kini


    Di tengah dunia yang serba cepat ini, karya-karya Pramoedya dan Gebar tetap relevan. Ketika informasi mudah tersebar namun sering kali dipenuhi dengan kebohongan atau manipulasi, karya-karya mereka mengingatkan kita untuk tetap kritis dan berani mempertanyakan apa yang terjadi di sekitar kita. 


    Pramoedya mengajarkan kita bahwa memahami sejarah adalah langkah pertama untuk melawan ketidakadilan masa kini. Sebaliknya, Gebar melalui seni rupa, mengajak kita untuk tidak melupakan mereka yang terpinggirkan dalam narasi besar bangsa ini, mereka yang hidup dalam kesulitan dan penindasan, namun tetap berjuang.


    Karya Pramoedya dan Gebar mengingatkan kita bahwa seni adalah senjata untuk membongkar ketidakadilan. Pramoedya menulis untuk membuka mata kita terhadap realitas yang tak terlihat, sementara Gebar menunjukkan bahwa seni rupa dapat memberi suara bagi mereka yang tidak mampu berbicara. Keduanya mengingatkan kita untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga berperan aktif dalam perjuangan, untuk terus melawan ketidakadilan yang merajalela, dan memperjuangkan kesetaraan. (Amnesti Internasional Indonesia, 2025) 


    Refleksi Satu Abad Pramoedya dan Warisan Gebar


    Peringatan satu abad kelahiran Pramoedya Ananta Toer adalah waktu yang tepat untuk merenungkan kembali semangat perjuangannya—semangat yang berfokus pada kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Meskipun Pramoedya telah tiada, warisan dan semangatnya hidup dalam setiap tulisannya. Begitu juga dengan Gebar, yang terus berkarya dan menginspirasi. Karya-karyanya mengingatkan kita bahwa seni adalah sarana untuk melawan ketidakadilan, bahwa keberanian berbicara dan berkarya adalah bagian dari perjuangan untuk perubahan.


    Gebar melanjutkan perjuangan yang sama, tetapi melalui medium seni rupa. Setiap lukisannya bukan hanya karya visual, tetapi seruan untuk menyuarakan ketidakadilan yang sering kali terabaikan. Ia membuktikan bahwa seni bukan hanya untuk estetika, tetapi untuk berbicara tentang realitas sosial yang sering terlupakan oleh mainstream. Keduanya, Pramoedya dan Gebar, memberikan contoh bahwa seni—apapun bentuknya—adalah perjuangan yang tiada henti.


    Penutup: Seni sebagai Bentuk Perlawanan


    Pramoedya Ananta Toer dan Gebar Sasmita adalah dua pahlawan seni yang mengajarkan kita bahwa seni tidak hanya tentang keindahan, tetapi tentang keberanian melawan ketidakadilan. Karya-karya mereka mendorong kita untuk berpikir lebih dalam, merasakan lebih peka, dan bertindak lebih berani.


    Dalam kata-kata Pramoedya, “Sudah bosan takut. Dan sudah bosan putus asa.” Dan dalam setiap goresan kuas Gebar, kita melihat bahwa harapan tak pernah padam. Keduanya mengingatkan kita bahwa seni, dalam bentuk apapun, adalah kekuatan besar untuk melawan ketidakadilan. 


    Mereka mengajarkan bahwa seni harus menjadi ruang untuk refleksi, perlawanan, dan perubahan. Sebagaimana kata-kata Pramoedya bisa mengubah dunia, begitu juga warna dan garis Gebar menginspirasi kita untuk terus berjuang menciptakan dunia yang lebih adil.


     


    Tentang penulis:***


    BUNG EKO SUPRIATNO


    Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial


    Universitas Mathla’ul Anwar Banten.


    (isum)

     


    Komentar

    Tampilkan